youngthink.id – Indonesia, Vietnam, dan Thailand menghadapi serbuan barang impor dari China akibat tarif tinggi dari Amerika Serikat. Situasi ini memicu lonjakan barang impor murah dari China yang menekan industri lokal di Asia Tenggara.
Kepala Riset Ekonomi Pasar Berkembang Citigroup Inc, Johanna Chu, menjelaskan fenomena ini sebagai pengalihan perdagangan. Ekspor China ke AS menurun, sementara arus barang beralih ke Asia Tenggara.
Efek Tarif AS Terhadap Ekspor China
Tarif tinggi dari Amerika Serikat terhadap barang-barang China telah memaksa China mengalihkan jalur perdagangan. Akibatnya, ekspor langsung ke AS menurun tajam, sementara ekspor ke Asia Tenggara melonjak signifikan.
Johanna Chu dari Citigroup Inc menyoroti fenomena ini sebagai tantangan bagi negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Peningkatan aliran barang ini meningkatkan persaingan produk lokal, berdampak negatif pada industri domestik.
Industri Tekstil Indonesia di Bawah Tekanan
Industri tekstil Indonesia mengalami tekanan besar akibat masuknya barang-barang impor murah dari China. Kondisi ini semakin memperbesar beban pelaku usaha lokal dalam menghadapi persaingan yang ketat.
Akibatnya, ribuan pekerja di sektor garmen terancam mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Meningkatnya impor tekstil dari China menambah kesulitan yang dihadapi industri tekstil tanah air.
Praktik Transshipment dan Kebijakan Tarif
Praktik transshipment memperumit situasi perdagangan internasional di Asia Tenggara. Arus barang dari China dialihkan untuk menghindari tarif tinggi AS, yang berdampak pada tujuan akhir seperti Indonesia.
Laporan dari Citi mengidentifikasi hubungan signifikan antara peningkatan impor barang China dan ekspor Asia Tenggara ke AS. Negara seperti Vietnam dan Thailand mencoba memperketat sertifikasi asal barang untuk mencegah praktik berbahaya ini. Redma Gita Wirawasta dari APSyFI mengingatkan pentingnya mencegah lonjakan ekspor akibat transshipment yang merugikan Indonesia.