youngthink.id – Pengusaha hotel di Mataram, Nusa Tenggara Barat, saat ini resah dengan penarikan royalti yang dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) terkait musik yang diputar melalui televisi di kamar hotel.
Ketua Asosiasi Hotel Mataram, I Made Adiyasa, memimpin protes ini dan menganggap penarikan royalti tersebut tidak berpijak pada aturan yang jelas.
Protes Asosiasi Hotel Mataram
Pelaku industri perhotelan di Mataram merasakan dampak dari penarikan royalti yang dilakukan oleh LMKN, khususnya terkait dengan tayangan musik di televisi kamar hotel.
I Made Adiyasa, sebagai Ketua Asosiasi Hotel Mataram (AHM), mengungkapkan bahwa rekan-rekannya terkejut dengan penarikan royalti yang dilakukan LMKN tanpa aturan teknis yang jelas dan dasar hukum yang kuat.
Dalam pernyataannya, Adiyasa menyampaikan, “Teman-teman hotel sudah komentar kalau hotel nggak mutar musik, tapi jawaban mereka, kan di kamar ada TV, dan TV itu bisa dipakai mendengarkan musik oleh tamu.”
Pernyataan ini mencerminkan frustrasi para pemilik hotel terhadap justifikasi yang diberikan oleh LMKN.
Alasan Penarikan Royalti yang Dipertanyakan
Pihak AHM merasa alasan yang diajukan LMKN untuk menarik royalti terkesan tidak berdasar, khususnya karena penarikan tersebut berfokus pada pemakaian televisi di dalam kamar.
Adiyasa menjelaskan, “Bagi Asosiasi Hotel Mataram, alasan LMKN terkesan mengada-ada karena menarik royalti dengan dalih ada televisi di kamar hotel dan tamu bisa mendengarkan musik dari tayangan televisi.”
Hal ini menunjukkan bahwa asosiasi merasa prihatin atas dampak yang ditimbulkan pada usaha mereka.
Mempertimbangkan cara penagihan yang dilakukan, I Made Adiyasa menilai bahwa proses tersebut sangat tidak etis.
Struktur Tarif Royalti Berdasarkan Kamar
Adiyasa juga menambahkan bahwa penetapan tarif royalti musik bagi hotel di wilayah tersebut dilakukan berdasarkan jumlah kamar yang dimiliki.
Misalnya, hotel dengan kapasitas 0-50 kamar dikenakan tarif royalti yang lebih rendah dibandingkan dengan hotel yang memiliki 50-100 kamar.
Hal ini menurutnya kembali menimbulkan ketidakadilan, karena setiap hotel memiliki perbedaan dalam model usaha dan target pasar.
Ia menekankan perlunya kesepahaman yang lebih baik antara LMKN dan pelaku industri perhotelan demi kelangsungan usaha yang sehat.