youngthink.id – Iran secara resmi menghentikan kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) pasca serangan yang dilancarkan oleh Amerika Serikat dan Israel terhadap fasilitas nuklirnya. Keputusan ini diambil setelah serangkaian konflik selama 12 hari yang mengakibatkan kerusakan parah di situs-situs nuklir Iran.
Media pemerintah Iran melaporkan bahwa rancangan undang-undang yang mendukung penangguhan kerja sama ini telah disetujui oleh parlemen, Dewan Wali, dan resmi diaktifkan oleh Presiden Masoud Pezeshkian. Langkah ini mencerminkan keputusan strategis pemerintah Iran di tengah ketegangan geopolitik yang meningkat.
Dampak dari Serangan Terhadap Fasilitas Nuklir
Serangan yang berlangsung sejak 22 Juni melibatkan penjatuhan bom GBU-57 di situs nuklir Fordow dan Natanz, yang dilaporkan hancur total. Selain itu, rudal Tomahawk diluncurkan oleh AS dari kapal selam ke lokasi strategis di Isfahan, yang menyebabkan kerusakan lebih lanjut.
Lebih dari 900 orang diketahui tewas akibat konflik tersebut, termasuk di antara mereka ilmuwan nuklir dan pejabat tinggi militer Iran. Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menyatakan bahwa ada kerusakan ‘serius’ yang terjadi di berbagai lokasi nuklir sebagai dampak dari serangan ini.
Penangguhan Kerja Sama dengan IAEA
Rancangan undang-undang yang disetujui menetapkan syarat baru, di mana para inspektur IAEA kini memerlukan izin dari Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran untuk masuk ke situs nuklir di Teheran. Selain itu, anggota parlemen Hamid Reza Haji Babaei menegaskan bahwa Iran akan menghentikan izin penggunaan kamera IAEA di fasilitas nuklir.
Badan berita ISNA menyampaikan bahwa tujuan dari undang-undang ini adalah untuk menegaskan hak-hak Iran sesuai Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir, dengan penekanan pada pengayaan uranium yang terus berlanjut.
Reaksi Internasional
Keputusan Iran untuk memutuskan kerja sama dengan IAEA menuai kritik dari berbagai negara di seluruh dunia. Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menyebut bahwa Iran telah memilih jalur yang keliru pada saat seharusnya menciptakan peluang untuk perdamaian dan stabilitas.
Di sisi lain, juru bicara Kementerian Luar Negeri Jerman, Martin Giese, menyatakan bahwa penangguhan kerja sama ini adalah ‘sinyal bencana’. Tidak ketinggalan, juru bicara Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, juga mengungkapkan kekhawatirannya, menyebut keputusan Iran sebagai ‘jelas memprihatinkan’.